Hidup itu kompleks. Gak sesederhana tarik napas lalu dibuang lagi. Bukan cuma soal jantung berdenyut teratur dan transportasi oksigen serta nutrisi lancar ke seluruh tubuh. Bahkan penunjang kehidupan seperti buang air, baik besar maupun kecil, juga gak bisa disepelekan. Hidup itu susah!Hidup itu simpel.Gak usah makan ribet-ribet. Asal perut kenyang, hati senang. Bukan masalah walaupun harus banting tulang cari rejeki. Bahkan biar hidup ini merangkak terus, terseok-seok merayap untuk bertahan. Asal punya semangat hidup yang diwujudkan dalam doa (harapan) dan usaha, cukup. Hidup itu gampang!
Sudah berbulan-bulan rasanya kami perang dingin. Aku dan blog ku. Bukan cuma tidak ngobrol, ditengok pun tidak. Sampai suatu hari seorang sahabat nyeletuk, "Lu masih rajin nulis blog?" Saya cuma bisa tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Menikung dari kenyataan bahwa saya hampir melupakan blog. Blog yang setia menerima segala unek-unek. Blog yang dijadikan tameng dari masyarakat. Blog yang bikin orang senyum-senyum sendiri. Bahkan blog yang bikin bangga karena di-like sama orang lain. Walaupun sebenarnya saya berusaha untuk menyembunyikan blog ini, karena tulisan ini bisa jadi sisi liar yang berusaha keluar. Tapi ego narsisistik (bukan istilah akademis) juga kepengen blog ini dibaca dan diapresiasi. Namun sudah berbulan-bulan pacar di dunia maya ini saya biarkan kesepian.
Kembali ke konsep awal pembuatan blog ini, saya ingin bercerita. Baik cerita yang terucap, maupun yang tidak sampai keluar melewati bibir ini. Tertahan di pita suara, takut untuk dimuntahkan, lalu tertelan dan nyangkut dipikiran. Hari ini saya coba bercerita tentang hidup.
Kemarin pagi sebelum berangkat ke Puskesmas tempat saya melayani, ya sekarang sudah pindah di Puskesmas. Bye-bye IGD rumah sakit dengan segala kelengkapannya. IGD yang dulu selalu saya keluhkan segala kekurangannya. Ternyata di Puskesmas lebih dada saya semakin rata karena selalu dielus. Keluhan soal pekerjaan kita sisihkan dulu di bangku pemain cadangan. Kembali ke soal kehidupan. Kemarin pagi itu saya menerima Line dari koko saya di Jakarta. Ternyata ada seorang keluarga yang berpulang tiba-tiba. Tiba-tiba karena berpulangnya tidak direncanakan. Walaupun sebelumnya memang punya keluhan kesehatan, tapi tidak ada rencana beli one way ticket menuju Yang Maha Kuasa. Sepengetahuan saya, ini adalah om paling kecil. Artinya banyak tetua-tetua yang harusnya ijin tinggal (visa) didunianya expire duluan. Cuma kenyataanya kan tidak begitu. Umur visa masing-masing tidak ada yang tahu. Mau diramal-ramal dengan metode apa pun, tidak ada peramal yang bisa yakin dan berani taruhan kepalanya dipotong kalau salah meramal. Jadi dipikir-pikir hidup ini kocak yah. Hidup itu singkat, yang datang belakangan bisa pulang duluan. Tapi saya merasa (hampir) 26 tahun hidup ini sangat panjang. Apalagi kalau cuma dihabiskan dengan penantian. Menanti malam berganti pagi (kerjanya cuma tidur-tiduran) atau pagi berganti malam (nganggur gak nagapa-ngapain seharian). Benar saja hidup itu relatif, relatif kocak. Sekarang saatnya Anda tertawa.
Dalam menjalankan profesi sebagai dukun terakreditasi yang dilegalkan untuk mengobati orang, saya sering berhadapan dengan hidup. Baik awal kehidupan, maupun yang sudah tidak hidup. Awal kehidupan itu sendiri masih menjadi polemik. Ada yang bilang ketika sel sperma merasuki sel telur dan mereka bersatu menjadi sebuah sel awal kehidupan yang disebut zigot. Ada yang bilang zigot itu sel, tapi belum hidup karena belum jelas akan jadi calon manusia atau cukup sampai disitu, sekian dan terima kasih. Zigotnya maksud saya, cerita omong kosong tentang hidup masih panjang. Beberapa lebih yakin kalau disebut sudah hidup kalau sudah dapat dibuktikan denyut jantungnya. Ini juga jadi masalah, karena ada yang senang membuktikan visual alias di USG kelihatan denyut jantung janin. Tapi ada yang senang dengan sistem kalender, kira-kira kalau mulai produksi tanggal sekian, maka pada tanggal sekian denyut jantung harusnya sudah ada. Saya tergelitik menyebutnya kaum kuno yang gagal move on, tapi tidak etis, tapi keburu diketik dan saya malas untuk menghapusnya. Jadi baca yang Anda juga setuju saja. Lebih jauh lagi soal awal kehidupan, ada fanatik yang mengakui sudah hidup kalau sudah lahir dan menangis (atau bukti kehidupan lain). Selama masih belum keluar, maka dia masih calon hidup. Belum prosesi pelantikan melalui jalan lahir yang sempit dan berkelok (lahir spontan atau normal); atau beberapa yang memilih (atau terpaksa) melalui jalan perut yang gerbangnya berlapis (operasi caesar atau sesar). Nah proses pelantikan ini berakhir ketika ada yang berani ketok palu menyatakan ini lahir hidup. Disitu baru diakui kehidupan dimulai. Soal memulai kehidupan ini relatif juga kan? Relatif kocak. Ribut-ributnya soal awal kehidupan ini, nantinya bisa merembet sampai perdebatan aborsi dan kontrasepsi. Bahkan bisa juga dibenturkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan, yang jelas-jelas seperti saya disuruh bersaing adu tampan dengan orang utan jantan. Jelas bila Anda sehat jasmani dan rohani, Anda akan bilang saya lebih tampan, tapi kok orang utan betina tidak sependapat dengan Anda?
Itu baru sedikit tentang sekelumit awal kehidupan. Akhir kehidupannya sendiri juga bukan tanpa kepusingan. Bila semua setuju ini mati, fine, mungkin tidak ada masalah menyebut kehidupan berakhir. Bagaimana dengan orang yang mengalami mati batang otak? Saya ingat pada saat bimbingan menghadapi uji kompetensi, ada sebuah pertanyaan seputar mati batang otak. Saat itu seingat saya, dengan ingatan saya yang terbatas ini, mati batang otak sepertinya belum disebut mati. Tapi ternyata oleh pembimbing kami, mati batang otak, secara teori dan penjabaran lebih lanjut, pada hakikatnya adalah mati karena semua pusat penunjang kehidupan sudah ikut mati bersama si batang otak. Ini seru bila dibahas secara teori. Apalagi kalau terjadi di praktiknya. Seorang pasien dinyatakan mati batang otak oleh dokter. Lalu dokter menyarankan agar alat penunjang kehidupan yang membuat pasien tetap bernapas agar dimatikan. Keluarga berdiskusi panjang, lalu naik banding akhirnya sampai keputusan berkekuatan hukum tetap menyatakan setuju agar alat dimatikan. Dokter pun mempersilahkan seorang anggota keluarga yang mematikan alatnya. Alih-alih ada yang mau, mereka meminta dokter saja yang mematikan dengan seribu satu alasan. Sebagian dokter mungkin santai dan mematikan, tapi tidak sedikit lho yang mundur satu langkah dulu dan berpikir ulang. Saya pernah melontarkan kasus ini ke beberapa kolega sesama dukun terakreditasi, ada yang menjawab diplomatis itu adalah hak keluarga dan sebagainya, ada yang jujur dan polos ujung-ujungnya meminta staff medis saja yang mematikan, intinya mereka sendiri ragu kalau sudah disuruh bertindak. Ragu apakah benar mati batang otak bisa dianggap mati saja. Padahal secara keilmuan dikatakan mati batang otak adalah sama dengan mati. Lagi-lagi kehidupan ini bikin kacau. Akhir kehidupan itu juga jadi relatif. Relatif kocak.
Kehidupan kita yang relatif kocak ini bila diawali dan diakhiri dengan kocak, Anda bisa bayangkan apa yang terjadi sepanjang hidup. Seperti saya coba muat dalam dua paragraf awal tentang hidup. Hidup itu gampang-gampang, susah; juga susah-susah gampang. Dibilang santai yah repot, dibilang repot tapi santai aja dijalani. Intinya bisa disingkat menjadi sederhana dalam dua kalimat berikut ini: Hidup itu simpel, tapi gak boleh disepelekan. Hidup itu kompleks, tapi selama punya semangat hidup, cukup. Lalu bagaimana caranya menjalani hidup? Yuk kita sama-sama belajar, karena awalnya saya menulis artikel ini malah ingin berkeluh-kesah tentang hidup. Kok malah jadi berkesimpulan kalau hidup itu kocak yah? Yang penting mari kita belajar menjalani hidup ini sebaik-baiknya. Supaya nanti kalau ditanya oleh Sang Pemberi Kehidupan, kita gak gelagapan cari-cari pembenaran supaya kelihatan betul. Atau bila Anda tidak percaya adanya Yang Maha Esa, supaya hidup Anda tidak kalah bermakna dengan buang air besar.