Jumat, 04 September 2015

Relatifitas Hidup: Hidup itu Relatif, Relatif Kocak

Hidup itu kompleks. Gak sesederhana tarik napas lalu dibuang lagi. Bukan cuma soal jantung berdenyut teratur dan transportasi oksigen serta nutrisi lancar ke seluruh tubuh. Bahkan penunjang kehidupan seperti buang air, baik besar maupun kecil, juga gak bisa disepelekan. Hidup itu susah!

Hidup itu simpel.Gak usah makan ribet-ribet. Asal perut kenyang, hati senang. Bukan masalah walaupun harus banting tulang cari rejeki. Bahkan biar hidup ini merangkak terus, terseok-seok merayap untuk bertahan. Asal punya semangat hidup yang diwujudkan dalam doa (harapan) dan usaha, cukup. Hidup itu gampang!

Sudah berbulan-bulan rasanya kami perang dingin. Aku dan blog ku. Bukan cuma tidak ngobrol, ditengok pun tidak. Sampai suatu hari seorang sahabat nyeletuk, "Lu masih rajin nulis blog?" Saya cuma bisa tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Menikung dari kenyataan bahwa saya hampir melupakan blog. Blog yang setia menerima segala unek-unek. Blog yang dijadikan tameng dari masyarakat. Blog yang bikin orang senyum-senyum sendiri. Bahkan blog yang bikin bangga karena di-like sama orang lain. Walaupun sebenarnya saya berusaha untuk menyembunyikan blog ini, karena tulisan ini bisa jadi sisi liar yang berusaha keluar. Tapi ego narsisistik (bukan istilah akademis) juga kepengen blog ini dibaca dan diapresiasi. Namun sudah berbulan-bulan pacar di dunia maya ini saya biarkan kesepian.

Kembali ke konsep awal pembuatan blog ini, saya ingin bercerita. Baik cerita yang terucap, maupun yang tidak sampai keluar melewati bibir ini. Tertahan di pita suara, takut untuk dimuntahkan, lalu tertelan dan nyangkut dipikiran. Hari ini saya coba bercerita tentang hidup.

Kemarin pagi sebelum berangkat ke Puskesmas tempat saya melayani, ya sekarang sudah pindah di Puskesmas. Bye-bye IGD rumah sakit dengan segala kelengkapannya. IGD yang dulu selalu saya keluhkan segala kekurangannya. Ternyata di Puskesmas lebih dada saya semakin rata karena selalu dielus. Keluhan soal pekerjaan kita sisihkan dulu di bangku pemain cadangan. Kembali ke soal kehidupan. Kemarin pagi itu saya menerima Line dari koko saya di Jakarta. Ternyata ada seorang keluarga yang berpulang tiba-tiba. Tiba-tiba karena berpulangnya tidak direncanakan. Walaupun sebelumnya memang punya keluhan kesehatan, tapi tidak ada rencana beli one way ticket menuju Yang Maha Kuasa. Sepengetahuan saya, ini adalah om paling kecil. Artinya banyak tetua-tetua yang harusnya ijin tinggal (visa) didunianya expire duluan. Cuma kenyataanya kan tidak begitu. Umur visa masing-masing tidak ada yang tahu. Mau diramal-ramal dengan metode apa pun, tidak ada peramal yang bisa yakin dan berani taruhan kepalanya dipotong kalau salah meramal. Jadi dipikir-pikir hidup ini kocak yah. Hidup itu singkat, yang datang belakangan bisa pulang duluan. Tapi saya merasa (hampir) 26 tahun hidup ini sangat panjang. Apalagi kalau cuma dihabiskan dengan penantian. Menanti malam berganti pagi (kerjanya cuma tidur-tiduran) atau pagi berganti malam (nganggur gak nagapa-ngapain seharian). Benar saja hidup itu relatif, relatif kocak. Sekarang saatnya Anda tertawa.

Dalam menjalankan profesi sebagai dukun terakreditasi yang dilegalkan untuk mengobati orang, saya sering berhadapan dengan hidup. Baik awal kehidupan, maupun yang sudah tidak hidup. Awal kehidupan itu sendiri masih menjadi polemik. Ada yang bilang ketika sel sperma merasuki sel telur dan mereka bersatu menjadi sebuah sel awal kehidupan yang disebut zigot. Ada yang bilang zigot itu sel, tapi belum hidup karena belum jelas akan jadi calon manusia atau cukup sampai disitu, sekian dan terima kasih. Zigotnya maksud saya, cerita omong kosong tentang hidup masih panjang. Beberapa lebih yakin kalau disebut sudah hidup kalau sudah dapat dibuktikan denyut jantungnya. Ini juga jadi masalah, karena ada yang senang membuktikan visual alias di USG kelihatan denyut jantung janin. Tapi ada yang senang dengan sistem kalender, kira-kira kalau mulai produksi tanggal sekian, maka pada tanggal sekian denyut jantung harusnya sudah ada. Saya tergelitik menyebutnya kaum kuno yang gagal move on, tapi tidak etis, tapi keburu diketik dan saya malas untuk menghapusnya. Jadi baca yang Anda juga setuju saja. Lebih jauh lagi soal awal kehidupan, ada fanatik yang mengakui sudah hidup kalau sudah lahir dan menangis (atau bukti kehidupan lain). Selama masih belum keluar, maka dia masih calon hidup. Belum prosesi pelantikan melalui jalan lahir yang sempit dan berkelok (lahir spontan atau normal); atau beberapa yang memilih (atau terpaksa) melalui jalan perut yang gerbangnya berlapis (operasi caesar atau sesar). Nah proses pelantikan ini berakhir ketika ada yang berani ketok palu menyatakan ini lahir hidup. Disitu baru diakui kehidupan dimulai. Soal memulai kehidupan ini relatif juga kan? Relatif kocak. Ribut-ributnya soal awal kehidupan ini, nantinya bisa merembet sampai perdebatan aborsi dan kontrasepsi. Bahkan bisa juga dibenturkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan, yang jelas-jelas seperti saya disuruh bersaing adu tampan dengan orang utan jantan. Jelas bila Anda sehat jasmani dan rohani, Anda akan bilang saya lebih tampan, tapi kok orang utan betina tidak sependapat dengan Anda?

Itu baru sedikit tentang sekelumit awal kehidupan. Akhir kehidupannya sendiri juga bukan tanpa kepusingan. Bila semua setuju ini mati, fine, mungkin tidak ada masalah menyebut kehidupan berakhir. Bagaimana dengan orang yang mengalami mati batang otak? Saya ingat pada saat bimbingan menghadapi uji kompetensi, ada sebuah pertanyaan seputar mati batang otak. Saat itu seingat saya, dengan ingatan saya yang terbatas ini, mati batang otak sepertinya belum disebut mati. Tapi ternyata oleh pembimbing kami, mati batang otak, secara teori dan penjabaran lebih lanjut, pada hakikatnya adalah mati karena semua pusat penunjang kehidupan sudah ikut mati bersama si batang otak. Ini seru bila dibahas secara teori. Apalagi kalau terjadi di praktiknya. Seorang pasien dinyatakan mati batang otak oleh dokter. Lalu dokter menyarankan agar alat penunjang kehidupan yang membuat pasien tetap bernapas agar dimatikan. Keluarga berdiskusi panjang, lalu naik banding akhirnya sampai keputusan berkekuatan hukum tetap menyatakan setuju agar alat dimatikan. Dokter pun mempersilahkan seorang anggota keluarga yang mematikan alatnya. Alih-alih ada yang mau, mereka meminta dokter saja yang mematikan dengan seribu satu alasan. Sebagian dokter mungkin santai dan mematikan, tapi tidak sedikit lho yang mundur satu langkah dulu dan berpikir ulang. Saya pernah melontarkan kasus ini ke beberapa kolega sesama dukun terakreditasi, ada yang menjawab diplomatis itu adalah hak keluarga dan sebagainya, ada yang jujur dan polos ujung-ujungnya meminta staff medis saja yang mematikan, intinya mereka sendiri ragu kalau sudah disuruh bertindak. Ragu apakah benar mati batang otak bisa dianggap mati saja. Padahal secara keilmuan dikatakan mati batang otak adalah sama dengan mati. Lagi-lagi kehidupan ini bikin kacau. Akhir kehidupan itu juga jadi relatif. Relatif kocak.

Kehidupan kita yang relatif kocak ini bila diawali dan diakhiri dengan kocak, Anda bisa bayangkan apa yang terjadi sepanjang hidup. Seperti saya coba muat dalam dua paragraf awal tentang hidup. Hidup itu gampang-gampang, susah; juga susah-susah gampang. Dibilang santai yah repot, dibilang repot tapi santai aja dijalani. Intinya bisa disingkat menjadi sederhana dalam dua kalimat berikut ini: Hidup itu simpel, tapi gak boleh disepelekan. Hidup itu kompleks, tapi selama punya semangat hidup, cukup. Lalu bagaimana caranya menjalani hidup? Yuk kita sama-sama belajar, karena awalnya saya menulis artikel ini malah ingin berkeluh-kesah tentang hidup. Kok malah jadi berkesimpulan kalau hidup itu kocak yah? Yang penting mari kita belajar menjalani hidup ini sebaik-baiknya. Supaya nanti kalau ditanya oleh Sang Pemberi Kehidupan, kita gak gelagapan cari-cari pembenaran supaya kelihatan betul. Atau bila Anda tidak percaya adanya Yang Maha Esa, supaya hidup Anda tidak kalah bermakna dengan buang air besar.

Jumat, 24 Juli 2015

Perihal Vonis Dokter

Pagi ini saat nonton berita pagi saya tergelitik dengan istilah 'vonis dokter' yang dipakai oleh narator beritanya. Seketika saya coba mencari arti kata vonis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan kebetulan artinya vo·nis n Huk putusan hakim (pada sidang pengadilan) yang berkaitan dengan persengketaan di antara pihak yang maju ke pengadilan; hukuman (pada perkara pidana): ia dijatuhi -- enam bulan penjara. Jadi istilah vonis itu TIDAK tepat disandingkan dengan dokter. Pertama profesi kedokteran gak punya hak memvonis karena bukan praktik hukum. Kedua dalam dunia kedokteran, seorang dokter selalu bekerja dalam uncertainty alias gak pasti; seorang dokter cuma memfasilitasi kerja Yang Maha Kuasa. Tidak ada garansi sebuah diagnosis adalah pasti, hanya bisa mentok memastikan dengan pemeriksaan baku emas (gold standar). Memastikan aja sulit, gimana berani menjatuhkan vonis? Yang diberitahukan adalah kemungkinan-kemungkinan sesuai keilmuan si dokter.

Sekadar sharing aja, pasien berhak untuk meminta opini kedua dari ahli lain. Sangat sah juga kalau ada perbedaan pendapat karena dunia kedokteran itu juga soal seni (pengalaman si dokter). Apalagi di pendidikannya banyak diajarkan harus mulai memikirkan yang terburuk supaya gak kelolosan. Sangat tidak mengherankan kalau kondisi yang diprediksi dokter 'kemungkinan lumpuh dan harus dibantu kursi roda seterusnya', lalu pasiennya berobat ke dokter lain atau pengobatan alternatif, dan perlahan mulai bisa berjalan dengan tongkat. Terus... Lumpuh itu vonis dokter? Tdnya saya pikir vonis yang inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap dan mengikat) itu cuma deklarasi kematian, tapi toh kalau cerita-cerita tentang mati suri itu benar, "vonis mati" yang dijatuhkan pun ternyata masih bisa direvisi tanpa proses berbelit melalui peninjauan kembali atau grasi.

So, mari mulai hari dengan optimis, di dunia ini jarang ada yang pasti kok. Selama masih ada hembusan nafas untuk berjuang, mari kita sama-sama perjuangkan untuk kebaikan. Semangat pagi, selamat menjalani hari!

*tulisan ini merupakan opini, tidak mewakili pandangan profesi secara umum dan mohon koreksi dan diskusi bila ada pandangan berbeda*

Selasa, 19 Mei 2015

Atas Nama Perdamaian (Yg Keliru)

"Gue udah ngomongin ini sama sepuluh orang, tapi doi gak sadar juga sih.. "

Acap kali kita, entah sengaja maupun tidak, salah mengkomunikasikan masalah. Seringnya masalah pribadi menjadi gosip yang melebar bahkan menular menjadi kebencian bersama. Entah merupakan sebuah gaya hidup atau sudah jadi kebiasaan, bila kita tidak menyetujui perilaku atau kata-kata seseorang, kita malah mengkomunikasikan dengan orang lain. Bukan bicara langsung, membuka wacana diskusi dengan orang yang bersangkutan. Misalnya kita tidak suka dengan statement seseorang, tapi alih-alih membicarakan dengan yang bersangkutan, dengan segala alasan, kita malah membuka pintu gosip bersama orang lain.

"Ya kan, gue gak mau ribut sama doi.."
Sebegitu jeleknya kah peer review? Budaya anti kritik dan anti masukan itu sepertinya sudah memasuki diri kita. Tanpa sadar kita sangat resisten dengan koreksi dari orang lain, sehingga teguran itu malah bisa diartikan sebagai pengibaran bendera perang. Jadi supaya aman, kita ekspresikan saja kekesalan dengan menceritakan pada si A. Bila tidak puas, bisa diceritakan lagi ke si B, C, D dan seterusnya, sampai bila ditelusuri ke ujung maka sudah banyak tambahan penyedap cerita. Sinetron banget! Membawa slogan perdamaian malah kita jadi menggosipkan orang lain tanpa membantu orang itu dalam evaluasi diri. Sah-sah saja minta pendapat apakah kekesalan kita berlebihan? Sangat halal juga minta pendapat bagaimana solusinya? Tapi yang jadi soal, kita menjalankan solusi, yang kita anggap selalu benar, tanpa menggandeng orang yang bersangkutan.

Gosip Berantai
Suatu hari di sebuah tempat kerja Tompel mengadu pd temannya tentang kemalasan seorang rekan kerja satu shift, yang kita sebut saja Bunga. Seribu satu kisah pendukung argumen kemalasan Bunga diutarakan oleh Tompel. Setelah penjabaran kisah secara panjang lebar, Tompel dan teman-temannya setuju bahwa tindakan Bunga itu salah. Mereka pun melakukan analisis macam-macam sehingga diskusi menjadi lebih hangat. Diskusi diakhiri dengan masukan oleh seorang temannya untuk mengevaluasi kelakuan Bunga kedepan. Waktu berganti, musim semi bertemu dengan musim semi kembali. Tompel rutin mencurahkan uneg-unegnya tentang kemalasan Bunga, tapi tidak pernah sekalipun menegur Bunga baik langsung maupun sindiran. Tapi kabar 'Bunga si pemalas' sudah menjadi rahasia umum untuk semua orang, kecuali bagi si Bunga sendiri.

Di lain kesempatan, ternyata Bagus yang merupakan teman satu shift Tompel dan Bunga, ternyata memiliki gaya serupa dengan Tompel. Dia suka curhat kesana-kemari tentang Tompel yang suka bercanda kasar dan porno. Sehingga selama bertahun-tahun lamanya, Bunga tetap lah malas, Tompel tetap lah kasar dan porno, dan ternyata Bagus tidak sebagus namanya. Dia berlabel 'si urakan' karena sering tidak membereskan kembali peralatan kerja yg selesai dipakai.

Kejadian begitu bukan eksklusif terjadi pada Tompel, Bunga dan Bagus. Saya juga beberapa kali mengungkapkan rasa tidak setuju terhadap orang lain, namun sebatas dibicarakan pada banyak orang kecuali pada yang bersangkutan. Entah krn takut, karena posisi yang bersangkutan superior, atau krn alasan cinta damai. "Males ah, nanti jadi berantem.." Akhirnya sedikit demi sedikit rasa tidak setuju itu ditumpuk, ditumpuk, dan saya mengambil kesimpulan tentang seseorang. Kesimpulan bersama tentunya dan menjatuhkan label pada diri orang tersebut. Kejelekan ini makin hancur saat diperhatikan bahwa lingkungan juga melakukan hal yang sama. Sudah biasa saja kalau kita bicara tantang kejelekan orang lain, tanpa usaha membantunya menjadi lebih baik. Dan lumrah kalau punggung kita tidak pernah aman dilingkungan begitu.

What Goes Around, Comes Around
Dulu ada sebuah ilustrasi dari pemuka agama tentang gosip. Sekumpulan orang bersama-sama ngobrol dalam suatu arisan linkungan RT. Bahan perbincangannya tidak lain adalah kekesalan seorang ibu pada mertuanya yang dianggap mulai pikun, dan didiskusikan secara asyik. Pelan tapi progresif terkuak juga bahwa banyak ibu-ibu di lingkungan RT itu yang juga punya masalah dengan kelakuan si mertua yang suka berlaku ling-lung sehingga dianggap menggangu. Tiba-tiba ponsel si ibu berbunyi, dia terpaksa meninggalkan arisan lebih awal karena harus mengantar mertuanya kontrol ke RS. Saat si ibu itu sudah jauh dari pandangan mata, tetangga dalam arisan itu mulai membicarakan si ibu yg baru saja pergi. Sampai akhirnya tidak ada yg berani angkat kaki duluan karena takut menjadi topik pembicaraan berikutnya. Akhirnya mereka semua kelelahan dan bubar bersama-sama.

Gosip vs Diskusi
Bedanya ngegosipin orang dengan diskusi adalah, gosip hanya bicara tanpa aksi. Sedangkan  diskusi adalah mencari solusi bagaimana membantu orang lain, bukan cuma sekadar curcol tentang kekesalan. Karena masalahnya, pertama belum tentu "saya" benar saat kesal, kedua belum tentu "kita" benar. Bisa jadi kekesalan kita itu karena ego kita dan bisa jadi orang yang kita ajak bicara punya subjektivitas lebih sehingga membela ego kita. Hati-hati..

Saya juga masih berlajar bagaimana caranya membantu orang lain, bukan sekadar menggosipkan tentang kejelekannya. Kadang sindiran itu sulit dimengerti, apalagi sindiran dengan bungkus sarkasme. Semoga sedikit renungan ini bermanfaat utk menghalau mimpi buruk nanti malam.

PS: Ditulis bukan untak menghakimi orang lain.

Selamat sore!

Rabu, 06 Mei 2015

Budaya Jińg Nyèt Prët Taí

Sore ini dengerin rerun sebuah acara radio yg isinya nelpon orang terus ngasih tawaran ngaco gitu, ya tahu lah yah acara apa, yang gak tahu Google 'tawaran ngaco' deh. Jadi ceritanya disitu si penyiar pura-pura nawarin produk untuk mancungin hidung, tapi syaratnya aneh-aneh untuk bisa berhasil. Sudah kayak klenik aja yah. Nah diujung acara, pas si penyiar ngebuka kalau itu acara buat ngerjain doang, tiba-tiba si cewek mengeluarkan suatu nama hewan, dan diulang, dan diulang, dan diulang berkali-kali. Sampe akhirnya penyiarnya ngeluarin komentar, "Cantik2 ngomongnya kasar yah..."

Saya bukan orang yang berprinsip 'perempuan gak boleh ngomong kasar', 'perempuan harus feminim, anggun, lemah-lembut' atau 'perempuan seharusnya...' Bukan. Sudah sejak lama saya pikir perempuan itu punya hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki. Setara. Kecuali mereka punya kelebihan, diberikan tanggung jawab maha besar untuk melanjutkan keberlangsungan manusia melalui cobaan berat yang kita kenal sebagai melahirkan. Soal kata-kata yang terkenal dengan istilah 'ungkapan kebun binatang' itu sebenarnya saya pikir hanya masalah kebiasaan. Masalah? Ya. Karena tingkat retensi kita untuk hal buruk itu cepat sekali. Apalagi kalau sampai kelepasan diekspresikan di radio yg pendengarnya cukup banyak.

Kalau kebiasaan sepert itu dianggap biasa saja dan sejalan dengan pemikiran modern. Saya pribadi lebih suka disebut kuno, ortodox, konservatif dan istilah apa pun yang menggambarkan pemikiran jaman dulu bin purba. Biar saja harus ikut punah dengan orang-orang kolot. Namun, tetap tidak nyaman rasanya mendengarkan sumpah-serapah macam itu. Masih tidak biasa. Sangat disayangkan sebenarnya, karena sesungguhnya kalau mau belajar lebih banyak istilah dalam bahasa kita, banyak loh kata-kata lain yang mampu mensubstitusi ekspresi saat kita mengeluarkan kata-kata yang masih lazim dianggap kasar. Lagipula bagaimana dengan hak dari 'objek' yang kita gunakan itu? Kalau bisa menuntut, mugkin mereka akan memperkarakan ke meja hijau - main tenis meja misalnya, utk menyelesaikan perkara sepele ini.

Masalah sepele setaraf bercandaan jorok. Bercandaan yg saya anggap memiliki kasta paling rendah, lebih rendah dari bercanda tidak lucu (masih populer diwakili istilah jayus?). Mungkin dalam hal berkata-kata kasar itu bisa dianggap mewakili cara berekspresi 'rendahan'. Karena secara tidak langsung itu merendahkan kecerdasan Anda.

Tentu maaf kalau banyak yang tidak setuju dengan pemikiran prasejarah ini. Cuma rasanya tidak berlebihan kalau saya gunakan momen minum jus untuk curcol akan kegelisahan. Gelisah kalau dimasa depan kita mewariskan budaya 'jing nyet pret tai' ini. Khawatir kalau saya hidup cukup lama untuk melihat budaya itu berkembang. Prihatin bahwa ada waktunya nanti kebiasaan jelek ini dianggap biasa saja, bahkan diadopsi sebagai budaya.

Semoga kita bisa menjaga lidah kita dan terutama pita suara kita. Tidak takut kehilangan suara, lebih menakutkan suara yang kita keluarkan 'sumbang' bahkan 'menyakitkan'. Good evening :)


Selong, 6 Mei 2015

-dap-

Rabu, 29 April 2015

Fenomena Bunuh Diri Pasif

Bunuh diri itu salah, tapi kalau bunuh diri pasif?
Sadar atau tidak, kita banyak melakukan bunuh diri pasif setiap hari. Bukan hanya memiliki keinginan mati dalam alam bawah sadar kita. Ternyata banyak dari kita yang juga seorang masokis, jadi bunuh dirinya pelan-pelan sambil menikmati proses mati perlahan. Metode paling populer adalah dengan gaya hidup yang 'sakit'. Junk food, sedentary life style, bahkan stress negatif ditambah dengan su'uzon alias  berprasangka buruk (bener gak yah begitu tulisannya?), iri, dan penyakit 'hati' lainnya.

Sedikit demi sedikit kita menabung masalah di masa depan, yang tinggal tunggu sialnya saja, tiba-tiba berbagai penyakit menggerogoti. Baru deh nyesel karena sadar mulai proses mati yang menyakitkan. Tapi banyak loh yang sampai tahap itu pun masih masokis sejati. Contohnya pasien Diabetes Melitus tipe 1 yang sempat koma karena komplikasi. Udah susah-susah dirawat sampai stabil, eh pas stabil mulai lagi gak mau nyuntik insulin, makan sembarangan sampai gula darahnya chaiya-chaiya joget India.

Sebenarnya untuk menghentikan bunuh diri pasif itu sederhana. Langkah pertama tentu dimulai dengan kesadaran, lalu berlanjut dengan peng-ama-lan. Seperti kata Ade Rai disebuah acara talk show siang beberapa hari yang lalu, kalau kita mandi dua kali sehari gak ada yg muji kita disiplin, kenapa kalau kita olahraga tiap hari harus dibilang disiplin. Itu kan sudah semestinya dan sepatutnya. Sama halnya dengan, kenapa kalau kita membatasi kalori dibilang jaga makan, padahal kan sudah seharusnya asupan itu gak boleh lebay.

Yah tapi bukan berarti sah-sah saja berlaku ekstrim. Sebenarnya kebanyakan kita hidup sederhana saja sudah mendekati benar. Jadi gak perlu lagi program macam-macam, kecuali dalam kasus khusus. Selain badan, tentu kita harus menjaga pikiran kita benar. Gak perlu sempurna, karena malaikat saja ada yang tak bersayap, tak cemerlang dan tak rupawan seperti dalam lirik lagu dari Dee.

So, coba bangun dari penurunan kesadaran yang kita anggap biasa dan mulai STOP bunuh diri pasif.

Have a nice evening!


Selong, 29 April 2015

-dap-

Selasa, 28 April 2015

Keniscayaan dan Pilihan

"Janganlah kamu dihormati karena tua mu (senior), tapi dihormatilah karena ilmu mu."

Begitulah kalimat dari seorang residen ilmu kebidanan dan kandungan di tempat saya sedang melayani. Obrolan singkat tentang bagaimana profesor di pusat pendidikannya begitu menghargai dan mengayomi junior (anak maupun cucu didiknya).

Menjadi tua merupakan suatu keniscayaan, tidak selalu, karena akhir usia seseorang bukan ilmu pasti. Menjadi berilmu itu pilihan. Berjalan bersama dengan pengalaman dan kebijaksanaan, maka ilmu itu bisa menjadi berguna unttk orang banyak. Uniknya ilmu, dia merupakan milik kita yang sulit lepas, bisa dibilang bersaing dengan dosa. Melekat, lengket. Ilmu itu tidak terbatas. Bisa dibagi tanpa merasa kehilangan, namun buat orang yang senang mengejarnya, selalu merasa kekurangan. Ibarat dahaga yang bisa terpuaskan (tertutupi) sementara setelah 'minum', cepat atau lambat maka rasa haus itu akan datang lagi.

Bukan berarti kita tidak perlu menghormati sepuh, tapi kita mau menua 'gini-gini aja' atau mau menua lebih bermakna, semuanya terserah kamu...

Jalan sore keliling taman
Minum jus alpukat sendirian
Menjadi tua merupakan keniscayaan
Mau berilmu itu pilihan


Good evening!

Jumat, 17 April 2015

Sit Down Comedy (1): Main Mata

Merayakan segera dimutasinya saya dari bagian mata atau lebih tepatnya Departemen Ilmu Kesehatan Mata (kalau bagian mata nanti dikira saya membuat tulisan ini sambil duduk-duduk di iris sambil ngupil, karena iris membentuk pupil), saya coba mulai menulis lagi. Bicara soal ilmu kesehatan mata (ini juga keliru, harusnya menulis soal kesehatan mata kan?), yang mengherankan pasien yang datang semua gak ada satu pun yang sehat. Semuanya sakit. Harusnya nama departemennya diganti menjadi 'Ilmu Menyehatkan Mata' supaya lebih pas. Masalahnya kesehatan itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti n keadaan (hal) sehat; kebaikan keadaan (badan dsb), sedangkan menyehatkan itu artinya v mendatangkan (menjadikan dsb) sehat dl berbagai-bagai arti. Lebih cocok toh? Hal tersebut juga sesuai dengan amanat Presiden kita sekarang (Pak Jokowi) yang mau orang-orang kerja, kerja dan kerja. Makanya nama departemennya menggunakan kata kerja biar gak materialisme yang menurut mbah KBBI artinya n pandangan hidup yg men-cari dasar segala sesuatu yg termasuk kehidupan manusia di dl alam kebendaan semata-mata dng mengesampingkan segala sesuatu yg mengatasi alam indra (n = nomina atau kata benda).

Sebelum Anda pusing membaca kesesatan berpikir diatas. Ada sebuah keruwetan yang masih menjadi ganjalan saya meninggalkan departemen yang konsulennya asik-asik ini. Kalau ilmu penyakit saraf memiliki istilah khusus yang terdaftar di KBBI sebagai neurologi, ilmu kesehatan kulit nama gaulnya di KBBI dermatologi; tapi ilmu mata ini ternyata tidak terdaftar sebagai oftalmologi maupun ophthalmologi atau apa pun namanya. Padahal alat pemeriksaannya tercantum dengan nama oftalmoskop, bahkan sebuah penyakitnya, yang terdengar seperti kemampuan khusus Prof. Xavier di serial X-Men, yaitu xeroftalmia, yang bermakna n Dok penyakit mata krn kekurangan vitamin A (konjungtiva dan kornea mata menjadi kering); pun terdaftar namanya di KBBI. Trus, salah dokter spesialis mata gitu? Salah Perhimpunan Dokter Mata Indonesia gitu? Atau salahnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan? Atau salah cetak KBBI? Itu sudah diperiksa versi online lho tapi.

Menjunjung tinggi prinsip problem solving versi saya (soalnya saya gak mendalami teori formalnya) yang intinya tidak menekankan pada siapa yang salah, namun lebih kepada mencari cara memperbaiki apa yang salah dan mengapa terjadi kesalahan; maka kita biarkan saja Pak Anies Baswedan dan jajarannya yang nanti akan memperbaiki masalah penamaan tersebut (semoga blog saya dibaca pak menteri yaowoh). Lagipula buyut dari Britney Spears yaitu kakak Shakespear sendiri katanya di kisah Romeo dan Juliet (Romeo and Juliet. Act II. Scene II) mengungkapkan "What's in a name? that which we call a rose. By any other name would smell as sweet..." (Terjemahan kira-kiranya: Apalah artinya sebuah nama? Yang kita panggil sebagai mawar, dengan nama yang berbeda akan tetap berbau wangi...) Kalau dipikir-pikir apanya, apanya dong; kalimat kakak Shakespear itu betul juga. Kebetulan saja di sini ia dikenal sebagai 'mawar', padahal kalau Anda cari ke negara sana ia dikenal sebagai 'rose', bahkan kalau ke kuil Shaolin di Tiongkok sana, biksu-biksunya mungkin lebih kenal dia sebagai cici Méiguī (玫瑰). Sejalan dengan itu, coba saja kita melakukan penipuan masal pada anak-anak TK dengan mengajarkan pada mereka bahwa si mawar tadi nama aslinya adalah tokai bin feses yang kita sebut saja sebagai tinja; bahkan dengan begitu pun 'tinja versi penipuan masal' itu akan tetap berbentuk cantik dan berbau wangi. Jadi sebenarnya polemik penamaan departemen mata itu sama sekali gak usah dipikirin. Sing penting kan bisa meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya dalam bidang kemataan (atau mata-mata, eh permata, yah begitulah Anda pasti paham).

Walaupun penamaannya masih membingungkan, dokter spesialis mata itu bisa jadi salah satu dokter paling bugar. Bayangkan saja hampir lebih dari setengah pasien yang ditangani mengeluhkan 'mata kabur'. Kalau kita cermat sedikit, keluhan pasien itu saja keliru. Yang kabur kan penglihatannya, bukan matanya. Sehingga dokter spesialis mata itu sering kerjanya ngejar-ngejar penglihatan itu, supaya bisa ditangkap dan pasiennya gak jadi buta.

Seringkali juga selama mencicipi bagian ini mas ahli optometri, yang lebih dikenal sebagai ahli nyari ukuran kacamata (itu lho yang biasa di optik ngetes mata kita untuk mendapatkan ukuran lensa kacamata yang jitu. Kebayang kan?), yang tugasnya mengukur visus (daya lihat) kita selalu punya pertanyaan rutin pada pasien yang mencoba kacamata. "Coba bapak/ibu bangun, terus jalan lihat lantai pusing gak?" Yaelah mas, cuma lihat lantai mah pasiennya gak gitu pusing, coba suruh lihat isi dompetnya sehabis beli kacamata baru. Nah itu baru pusing mereka. Apalagi dibulan tua, pas belum gajian mereka. Disitu kadang mereka merasa pusing deh.

Bicara soal pusing, keluhan yang sering membuat dokternya pusing adalah 'mata suka berair'. Bahkan pernah sekali pak dokter iseng mengkonfirmasi. "Suka berair? Kalau suka ya sudah, gak usah diobati." Pasien perempuan paruh baya itu tampak bingung dan mengulangi keluhannya, "Iya ini mata anak saya suka berair." Sejenak percakapan itu diulang-ulang, sehingga kalau saya ketik lengkap mata kita bisa berair juga membacanya. Singkat cerita si ibu akhirnya sadar gurauan sekaligus koreksi dari dokternya. "Sering, Dok. Matanya sering berair. Gak suka," katanya sambil terus tertawa kegelian. Pesan dari konsulen mata tersebut, panggilan sayang kami untuk spesialis (terutama yang  hobi ngajarin sih), boleh bercanda sewajarnya supaya pasien tidak terlalu khawatir memikirkan penyakitnya. Andai bercandaan saya bisa juga membantu mengurangi kekhawatiran pasien dalam masalah pembayaran biaya berobat, khususnya yang belum punya BPJS.

Demikian sedikit pengalaman selama 'main mata' di masa internsip yang bisa saya tuangkan. Semoga bisa menjadi penghiburan bagi kita semua agar tidak terlalu pusing memikirkan carut-marut dunia ini. Ingat saja mata adalah jendela hati, bila ingin mengambil hati orang jangan congkel matanya karena kalimat barusan cuma kiasan. Mohon maaf bila ada tulisan yang kurang berkenan dan mohon periksa mata Anda bila ada tulisan yang kurang terbaca. Have a nice day!